Lompat ke konten
Perkumpulan Bantaya > Tesa ri Bantaya > Tutura > Pemilihan Kepala Desa di Desa Lumbudolo

Pemilihan Kepala Desa di Desa Lumbudolo

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah membuka peluang bagi setiap desa untuk melaksanakan pemerintahan secara otonom. Undang-undang tersebut secara tegas menumbangkan sentralisasi yang telah diterapkan Orde Baru. Sentralisasi tidak hanya menempatkan kekuatan militer sebagai alat agar daerah tetap patuh, tetapi juga menerapkan penyeragaman sosial politik secara sistematis sehingga dinamika dan keunikan daerah yang sangat beragam tidak lagi menjadi ancamanan. Pembangunan ekonomi demi pusat menjadi panglima dan untuk itu ekonomi adalah keutamaan. Masyarakat dengan demikian tidak boleh bermimpi tentang demokrasi politik karena itu berarti menghancurkan sentralisme kekuasaan dan kekuatan politik. 

Namun terkadang pemerintah keliru dalam menerapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, baik pada tingkat Kabupaten maupun Desa. Salah satu contoh konkrit di tingkat desa adalah seperti upaya pembentukan Perdes sebagaimana terjadi di Desa Lumbudolo. Perdes tersebut bukannya menjawab masalah desa sehari-hari sebagaimana menjadi harapan masyarakat, namun sebaliknya justru membuat persoalan semakin menumpuk. Perdes ini dipakai oleh beberapa elit desa untuk menghantam lawan politik mereka. Konflik makin bergelora setelah Calon Kepala Desa Dusun III (lawan politik panitia pemilih) digugurkan tanpa alasan yang jelas oleh panitia pemilihan. Ironisnya, panitia pesta demokrasi lokal ini dalam setiap kebijakannya banyak didominasi oleh penguasa lokal (Ketua BPD) yang kemudian menjejali kebijakan pemilihan kepala desa dengan kepentingannya sendiri. 

Tulisan ini mengambil kasus yang terjadi di Desa Lumbudolo untuk mencari alternatif penyelesaian tidak hanya dalam konteks kasus ini tetapi pengalaman yang mungkin mirip di tempat lain. Bagaimanapun kehadiran Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang membawa angin demokratisasi di daerah belum tentu bisa dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya di semua kampung. Sebab selain pemahaman aparat yang masih kurang, juga disebabkan oleh pola pikir pemerintah lokal yang masih mewarisi nila-nilai rejim feodal di masa lampau. Di dalam tulisan ini rekomendasi penulis ditempatkan bukan hanya pada pengaturan yang bisa mengubah hubungan pemerintah desa dengan masyarakatnya, melainkan juga mengubah mengubah wajah pemerintahan agar lebih demokrasi. Salah satunya adalah dengan melibatkan berbagai elemen dalam masyarakat sehingga apapun produk lokal (Perdes) bisa mengakomodir kepentingan masyarakat itu sendiri. 

oleh Fathurrahman, Tasnuddin, Rahmat, Razak, Roslina, Zaenab, Pos Informasi Kampung 

Selengkapnya bisa dibaca DI SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *