Lompat ke konten
Perkumpulan Bantaya > Tesa ri Bantaya > Tutura > Pembelajaran Otonomi Desa Lonebasa 

Pembelajaran Otonomi Desa Lonebasa 

Persoalan desa pada masa lalu pada dasarnya terletak pada dua hal pertama penyeragaman desa secara berlebihan hingga mengabaikan keunikan lokal dalam masyarakat. Kedua pemusatan kekuasaan Kepala Desa tanpa ada kekuatan formal yang bisa secara efektif mengontrolnya. Kedua hal inillah yang agaknya berusaha dikoreksi oleh Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004. 

Oleh. Oktavianus B. Dongka 

Keunikan-keunikan lokal di setiap desa, kini dihargai paling tidak tercermin dalam keleluasan untuk menggunakan nama jabatan dan lembaga sesuai tradisi setiap desa. Dalam tulisan ini, penulis menggambarkan hasil pengamatan bagaimana pemerintah dan tokoh agama juga masyarakat desa membangun suatu pembangunan tanpa bantuan dari pihak lain. 

Tentunya dalam penulisan ini, banyak kekurangannya, baik informasi maupun susunan kalimatnya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan perbaikan dari pembaca. 

Berdirinya Kampung Lonebasa

Lonebasa dalam bahasa masyarakat setempat (Uma) berarti mata air atau tempat keluarnya air. Antara tahun 1953-1967 Lonebasa adalah bagian dari kampung Onu (sekarang Desa Onu) Kecamatan Pipikoro. Waktu itu kepala kampungnya bernama Ngkeja. 

Melihat kepadatan penduduk dan lahan pertanian yang makin sempit dan adanya keingingan untuk berdiri sendiri, maka pada tahun 1965 diadakanlah musyawarah pertama antara tokoh masyarakat di Boya (dusun) Lonebasa. Musyawarah dipimpin oleh Kepala Pongare bernama Leli Tambu dengan agenda pokok membahas rencana pemisahan diri dari Kampung Onu. 

Pada tahun 1965 diadakan lagi musyawarah kedua dengan maksud mereruskan pembicaraan rencana pemisahan diri dengan Kepala Kampung Onu. Pada tahun 1966 tokoh kampung Onu dan tokoh Dusun Lonebasa sepakat dengan rencana pemisahan diri Lonebasa. Hasil kesepakatan tersebut dikirim ke Perwakilan Kecamatan Kulawi di Peana (sekarang Induk Kecamatan Pipikoro) dan selanjutnya ke Camat Kulawi di Kulawi. 

Pada tanggal 27 Juli 1967, Kepala Perwakilan Kecamatan Kulawi Wilayah Pipikoro meresmikan pelepasan Kampung Lonebasa dari Onu dan langsung melantik Sari Lampiso sebagai Kepala Kampung pertama’. 

Adapaun batas-batas Lonebasa sebagai berikut: 

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Onu; 
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lawe; 
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Towulu, Dusun Noke Kecamatan Kulawi;
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lempelero Dusun Tompi-Bangka Kecamatan Kulawi. 

Dari segi mata pencaharian, orang Desa Lonebasa pada umumnya petani ladang berpindah selain juga menanam tanaman permanen seperti Kopi dan Kakao. Sistem kerjanya dilakukan secara gotong royong di masing-masing wilayah RT. Mekanisme kerja seperti inilah yang menjadi dasar otonomi masyarakat untuk membangun desanya secara otonom. Dua contoh yang akan diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini adalah kerja sama warga desa Lonebasa dalam membangun rumah seorang imam selaku pelayan rohani bersama. Contoh berikutnya adalah pembuatan jalan setapak yang menghubungkan Desa Lonebasa dan Lawe. 

Pembangunan Rumah Imam Desa 

Pelayan rohani atau imam di Desa Lonebasa mempunyai peran yang sangat vital. Dia memberi spirit bagi banyak orang untuk menata dunia dengan cara hidup yang baik. Karena itu, imam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari- hari warga desa. Dengan gambaran seperti itu maka pada pertengahan bulan april 2004 diadakan pertemuan antara aparat desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk membahas pembangunan rumah imam desa yang rusak sehingga tidak layak dihuni. Pertemuan ini akhirnya menyepakati adanya swadaya masyarakat untuk membangun rumah imam tersebut.

Artikel ini termuat dalam buku Catatan Dari Desa Tentang Desa yang diterbitkan oleh Perkumpulan Bantaya (Palu) dan Yayasan Kemala (Jakarta), bisa dibaca di sini 

*sumber foto: Sulawesi Book Project

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *