Lompat ke konten

DIALOG MULTIPIHAK PERCEPATAN REFORMA AGRARIA SULAWESI TENGAH

Palu (25/1/2024), Perkumpulan HuMa Indonesia, Perkumpulan Bantaya dan YMP Sulteng menyelenggarakan
Seminar dan Dialog Multipihak Percepatan Reforma Agraria di Sulawesi Tengah. Dialog ini dihadiri oleh Kantor Staf
Presiden, Kementerian ATR/BPN, Badan Bank Tanah, Komnas HAM, Asisten I Gubernur Sulawesi Tengah, Bupati Sigi,
Perwakilan Bupati Poso, OPD Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, Kantor Wilayah BPN Provinsi, Kantor Pertanahan
Sigi dan Poso, Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi dan Poso, pemerintah kecamatan, akademisi, LSM, serta pemerintah
desa dan warga 9 (sembilan) Desa di Sulteng.

Dialog ini berupaya untuk membangun sinergitas semua pemangku kepentingan dalam pelaksanaan reforma agraria
sejati di Sulawesi Tengah. Masyarakat sembilan desa di Kab. Sigi dan Kab. Poso sudah lama berkomunikasi dengan
Bupati dan GTRA untuk pelaksanaan reforma agraria di wilayahnya. Namun pada 2023, tanah-tanah yang
direncanakan untuk reforma agraria ini dipatok oleh Bank Tanah. Proses Reforma Agraria dan Redistribusi pada lahan
eks HGU yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik agraria di kabupaten Sigi berpotensi menimbulkan sengketa
dan konflik agraria baru jika Menteri Agraria dan Tata Ruang memberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Bank
Tanah. Demikian pula di kabupaten Poso, hadirnya Badan Bank Tanah sesungguhnya sedang melanjutkan sengketa
dan konflik agraria antara masyarakat dengan para pemegang HGU sejak tahun 1996. Kronologi lebih lengkapnya
sebagai berikut:

  1. Di Kabupaten Poso, masyarakat To Pekurehua, yang sudah mendiami dataran Napu sejak zaman prasejarah
    harus menghadapi konflik agraria ketika secara sepihak tanah mereka diterbitkan HGU atas nama PT
    Hasfarm Napu tahun 1996. Konflik ini sangat traumatis bagi masyarakat yang saat itu mempertahankan
    tanah mereka sampai berujung kriminalisasi pada awal 2000an. HGU tersebut kemudian dialihkan kepada
    PT Sandabi Indah Lestari (PT SIL). Sejak sebelum HGU PT SIL habis pada 2022, masyarakat di 5 (lima) desa
    (Desa Maholo, Kalemago, Watutau, Winowanga, Alitupu) sudah sering berkomunikasi dengan Bupati selaku
    Ketua GTRA untuk mengurus pengembalian tanah kepada masyarakat setelah HGU PT SIL habis masa
    berlakunya, mengingat memang sejak awal masyarakat tidak mengakui adanya HGU tersebut. Bupati selaku
    Ketua GTRA menunjukan komitmen tinggi kepada masyarakat, contohnya pada 11 Desember 2022 dalam
    acara Mobelai Tampo, Pemkab Poso menyatakan: “tanah eks HGU PT Sandabi Indah Lestari yang sudah
    habis masa berlakunya akan dikembalikan kepada masyarakat.” Namun ternyata pada 2023, tanah yang
    bersangkutan dipatok oleh Badan Bank Tanah.
  2. Di Kabupaten Sigi, sejak tahun 2018, Bupati Sigi bersama GTRA Sigi telah mengajukan lahan eks HGU PT
    Hasfarm Holtikultura Sulawesi sebagai TORA kepada Menteri ATR untuk pertanian komunal bagi dua desa,
    yaitu Desa Pombewe dan Oloboju. Semua upaya persiapan sosial, pemetaan objek, pendataan subjek
    sampai dialog dengan Menteri ATR telah dilakukan. Menteri juga pernah menyatakan komitmen untuk
    menyetujui alokasi pendayagunaan lahan pertanian komunal. Puncaknya hasil musyawarah ditetapkan
    data subjek melalui Keputusan Bupati Sigi tanggal 8 Desember 2022. Namun ternyata pada 2023, tanah
    yang bersangkutan dipatok oleh Badan Bank Tanah.

Dalam dialog ini, Pemkab Sigi dan Poso menyinggung kendala Pemkab dalam percepatan reforma agraria karena
tumpang tindih aturan dengan Bank Tanah. “Saya tidak bilang setuju atau tidak setuju dengan Bank Tanah. Tapi
untuk reforma agraria, kami maunya cepat. GTRA mengusulkan ke BPN, kemudian langsung terbit sertifikat kepada
masyarakat. Dengan mekanisme Bank Tanah tidak bisa langsung,” ujar Bupati Sigi, Mohamad Irwan. Sementara
Bupati Poso yang diwakili Kadis PMD, mengakui bahwa pada lahan-lahan eks HGU PT. Hasfarm yang kemudian
dilanjutkan pengelolaannya oleh PT. Sandabi adalah lahan-lahan yang telah lama dikuasai oleh masyarakat.
“Pemasangan Plank Bank Tanah beserta ancaman pidana meresahkan warga dan dapat memicu konflik agraria,”
ujar Kamlis, masyarakat Desa Maholo. “Tampo Pekurehua bukan tanah kosong. Leluhur kami sudah ada di tanah ini jauh sebelum Indonesia merdeka,” lanjutnya. Sementara Ningsi, masyarakat Desa Pombewe, menyoroti soal
ketiadaan partisipasi masyarakat, “kami masyarakat asli Desa Pombewe merasa tidak dihargai. Dengan berbekal
surat Bapak masuk ke ‘rumah’ kami pasang plang. Padahal kami sudah punya kesepakatan sendiri terkait tanah
kami.”

Menanggapi hal tersebut, Mahendra Wahyu sebagai perwakilan Badan Bank Tanah menyampaikan beberapa hal:

  1. Untuk Kabupaten Poso, seluas 1550 hektar dari 6.648 hektar tanah yang dipatok Bank Tanah di Poso
    direncanakan untuk reforma agraria. Jumlah luasan ini bukan kewenangan Bank Tanah melainkan sudah
    ditetapkan oleh Kementerian ATR/BPN.
  2. Untuk Kabupaten Sigi, seluruh tanah memang diperuntukan untuk reforma agraria.
  3. Namun menurut aturan Bank Tanah, untuk reforma agraria di areal Bank Tanah, masyarakat diberikan dulu
    Hak Pakai selama minimal 10 tahun, setelah itu bisa dinaikkan statusnya menjadi Hak Milik.
    Menanggapi hal ini, perwakilan-perwakilan masyarakat yang hadir menyampaikan keberatan mereka dengan
    berbagai alasan. Pertama, luas 1550 hektar di Poso tidak sesuai dengan penguasaan riil masyarakat. Kedua, bahkan
    kalau mengikuti aturan tentang Bank Tanah pun, luas 1550 hektar ini melanggar, karena yang harus dialokasikan
    minimal 30% dari total luasan. Ketiga, tanah yang secara turun temurun dikuasai masyarakat harus turun status
    menjadi hak pakai dulu minimal 10 tahun, tidak ada kepastian berapa lama akan mendapat sertifikat hak milik.
    “Kekhawatiran kalau masyarakat akan jual tanahnya ke orang lain itu tidak mungkin karena yang kami minta adalah
    sertifikat tanah komunal,” ujar Kurniatun, masyarakat Desa Pombewe. Keempat, ketiadaan jaminan yang cukup kuat
    bahwa setelah 10 tahun tanah masyarakat akan diakui hak miliknya. “Apa jaminan dari Badan Bank Tanah terkait
    pemberian Hak Pakai kepada masyarakat selama 10 tahun?” tambah Ningsi, Ketua BPD Desa Pombewe, “Kami
    menolak proses Percepatan Reforma Agraria jika proses tersebut melalui mekanisme Badan Bank Tanah.”

Menanggapi diskusi ini, Mulki Shader dari Kantor Staf Presiden menyampaikan KSP berkomitmen menjembatani
komunikasi masyarakat dengan Kementerian ATR/BPN. Sedangkan Mimin Dwi Hartono dari Komnas HAM menyoroti
pentingnya partisipasi masyarakat. “Negara wajib menghormati dan memenuhi hak partisipasi, hak atas informasi,
dan hak untuk memberikan persetujuan tanpa paksaan dalam melakukan penataan agraria dan SDA.” Mimin juga
menekankan pentingnya menyelesaikan konflik agraria masa lalu secara adil dengan melakukan rekognisi, restitusi,
dan pemulihan hak-hak korban. Dalam konteks Sigi dan Poso, walaupun Bank Tanah mendapatkan tanah dari eks
HGU, namun pemberian HGU ini sendiri sejak awalnya bermasalah karena merampas tanah masyarakat yang
mengelola tanah tersebut secara turun temurun.
Senada dengan itu, Prof. Kurnia Warman menegaskan prinsip reforma agraria apabila subjeknya adalah petani
setempat, berarti melalui mekanisme land reform by leverage. Dalam skema ini, harusnya pendekatan landreform
yang digunakan adalah bottom-up approach, yaitu menggali dulu kondisi penguasaan di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *